Friday, October 12, 2007

Poskup 051007

ANGGARAN PILKADA SIKKA
MAUMERE, PK ––Demokrasi selalu menelan biaya yang tidak sedikit. Pilkada langsung di Sikka salah satu contohnya. Dana Rp 20 miliar yang diajukan KPUD masuk akal menurut mereka, namun rasionalitas anggaran ini perlu diuji secara saksama terutama oleh pemerintah dan DPRD Sikka.

Demikian dikatakan aktivis LSM di Maumere, Johanes Bala, mengomentari usulan dana Pilkada Sikka oleh KPUD kepada pemerintah yang mencapai Rp 31 miliar atau putaran I Rp 19,4 M, dan putaran II Rp 11,9 M.

Menurut Bala, KPUD mempunyai perhitungan terkait pembiayaan penyelenggaraan Pilkada Sikka 2008. Nilai Rp 31 miliar yang diajukan merupakan nilai rasionalitas yang didapat melalui pembahasan. Namun, rasionalitas anggaran itu harus dikaji pemerintah dan DPRD Sikka.
Ia menilai masih ada kemungkinan penghematan dilakukan dari di sejumlah pos kegiatan dalam RKA yang diajukan KPUD Sikka saat pembahasan oleh pemerintah dan Dewan. Ia menilai, nilai puluhan miliar rupiah yang diajukan untuk pilkada terkesan tidak berpihak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Sikka saat ini yang sangat memrihatinkan. Pilkada Sikka merupakan hal yang penting, tapi kesejahteraan masyarakat juga hal penting yang harus diwujudkan pemerintah dan semua pihak.

"Jika ada hal yang bisa difasilitasi dan partisipasi rakyat, maka tentu anggaran bisa dihemat. Libatkan masyarakat sehingga bisa ada menghemat anggaran," kata Bala. Ia berharap, pemkab dan DPRD Sikka tidak sekadar membahas dan menyetujui RKA KPUD, tapi membuat kajian rasional.

Beri peluang korupsi
Penilaian senada disampaikan praktisi hukum di Maumere, Meridian Dado, S.H, Marianus Moa, S.H, dan Marianus Laka, S.H, ketika ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Maumere, Rabu (3/10/2007).
Dado mengatakan, seharusnya anggaran Pilkada Sikka 2008 tidak sebesar itu. "Alangkah bijak jika ada penghematan sehingga bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat bagi kepentingan rakyat banyak. Saya khawatir jika dana sebesar itu langsung disetujui pemerintah dan DPRD Sikka, maka bisa memberi peluang kemungkinan terjadinya korupsi," kata Dado.

Marianus Laka, S.H berharap agar pengkajian pemerintah dan DPRD Sikka bisa benar-benar memenuhi harapan masyarakat dan berpihak pada kepentingan masyarakat. "Fakta ada banyak masyarakat masih hidup di bawah garis kemiskinan sehingga lebih baik dana yang tersedia sebagian diplotkan untuk kepentingan masyarakat," kata Laka.
Marianus Moa, S.H berharap KPUD tidak ‘ngambek’ ketika pemerintah dan Dewan ‘memangkas’ dana RKA yang diajukan KPUD karena harus disesuaikan dengan kondisi kemampuan daerah.

Ketua Divisi Sosialisasi Pilkada Sikka 2008, Albertus Ben Bao, S.Sos, menanggapi sorotan komponen masyarakat mengatakan, masukan tersebut merupakan hak pengawasan dari publik. Namun nilai yang diajukan masih berupa RKA KPUD ke pemerintah dan DPRD Sikka untuk penyelenggaraan Pilkada Sikka 2008 dengan kebutuhan sebesar Rp 19,4 M (putaran I)dan Rp 11,9 M (putaran II). Hal itu belum disetujui pemerintah dan Dewan karena masih akan dibahas dan dikaji lagi.

Meski demikian, tegas Abertus, nilai RKA yang diajukan KPUD merupakan nilai wajar dan rasional menurut kacamata KPUD. "Jika dalam pembahasan nanti ada pos-pos dana yang dipangkas tidak menjadi masalah asal tidak di bawah nilai kewajaran," tegas Albertus.
Pelaksanaan Pilkada Sikka 2008, demikian Albertus, mengacu Kepmendagri No. 44 yang salah satu pasalnya menyebutkan standarnisasi biaya ditetapkan bupati kepala daerah. Karena itu, kepala daerah berwenang mengkaji dan memangkas biaya yang diajukan KPUD terkait pelaksanaan pilkada. (vel)

Monday, May 21, 2007

Poskup 150507

Bupati Sikka mutasi 8 pejabat eselon II

Maumere, PK
Bupati Sikka, Drs. Alexander Longginus, memutasi delapan pejabat eselon II lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sikka. Ikut dimutasikan 55 pejabat eselon III, dan 15 pejabat eselon IV. Mutasi pejabat dilakukan untuk meningkatkan prestasi para pejabat yang dilantik sekaligus mengisi beberapa jabatan yang lowong.
Pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan pejabat struktural eselon II,III dan IV dilakukan di Aula Mapolres Sikka, Sabtu (12/5/2007). Hadir Wakil Bupati (Wabup) Sikka, Drs. Yos Ansar Rera, Sekretaris Kabupaten (Sekab) Sikka, Drs. Sabinus Nabu, dan sejumlah pejabat muspida dan pimpinan DPRD Sikka.
Delapan pejabat eselon II yang dimutasi, yakni Asisten II, dr. Henyo Kerong menempati posisi Kepala Bappeda yang lowong. Kadispenda Robert da Silva, dimutasikan menjadi Kadis Dikbud menggantikan Drs. Fransiskus Sura yang dilantik menjadi Asisten III Setkab Sikka. Sementara Asisten III Setkab Sikka, Felix Raja pensiun.
Kabag Keuangan Setkab Sikka, Petrus da Silva, diangkat menjadi Kadispenda Sikka. Jabatan Kepala Banwasda ditempati Thomas Aquino Parera yang sebelumnya menjabat Kadis Koperasi dan UKM. Sementara KTU Dinas Koperasi dan UKM, Muslimin Yunus menempati jabatan Kadis Koperasi dan UKM. Petrus Baba Nong menjabat Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Direktur RSU TC Hillers dr. Benyamin Boli, dimutasi sebagai KTU Dinkes Sikka, sedangkan Direktur RSUD Sikka dijabat dr. Asep Purnama, Sp.Pd.
Pada saat itu juga dilantik sembilan camat di wilayah kecamatan baru, dan mutasi sejumlah camat lainnya. Bupati Alex Longginus berharap, para pejabat yang mendapatkan kepercayaan agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebaik-baiknya, terutama dalam tugas pelayanan kepada masyarakat. Pejabat yang dilantik merupakan orang-orang pilihan yang dinilai cakap dan mampu menjalankan tugas dan kewajibannya pada jabatan ini.
Kepada Sekab Sikka, Bupati Alex Longginus menginstruksikan agar mulai hari Senin (14/5/2007) melaksanakan serah terima jabatan pada setiap unit yang baru dilantik.
Bupati Longginus kepada wartawan usai pelantikan mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan mutasi lagi karena masih ada sejumlah jabatan yang lowong dan ada pejabat yang memasuki masa pensiun. (vel)

Friday, January 12, 2007

Poskup 130107

Panggung, birokrat, dan politikus
(Surat terbuka untuk para bupati dan anggota Dewan di NTT)
Oleh Dominggus Elcid Li

BERHENTINYA roda kepe-mimpinan Soeharto, presiden kedua Indonesia, akibat krisis ekonomi dan protes para mahasiswa di tahun 1998, tidak lantas membuat banyak perubahan positif bagi warga di negeri ribuan pulau ini. Sebaliknya, situasi pemerintahan di pusat semakin tidak menentu, alur perubahan tidak pernah mendapat kata sepakat, yang ada malah perpecahan yang semakin melebar di mana-mana. Pertanyaannya, apa dampak situasi ini bagi orang daerah?
Panggung daerah
Jika diandaikan, kata ‘daerah’ adalah sinonim dari kata ‘panggung’, maka para aktor dan artisnya adalah para bupati dan anggota Dewan. Para pejabat yang diturunkan dari pusat ke daerah sengaja tidak disebut, karena dalam drama pendek ini, hanya para pemain tetap saja yang akan diulas. Masa penugasan yang singkat dan tingkat rotasi yang cepat menjadi salah satu alasan.
Bagaimana para pemain teater di daerah berimprovisasi di saat konflik tiada henti bermuara di pusat menjadi pertanyaan penuntun tulisan ini. Menarik, jika kita mengamati peran para bupati dan anggota Dewan dalam setting panggung. Bagaimana skenario itu dibuat, kemudian menyiapkan panggung dan atribut, hingga menampilkan kesan berwibawa bagi audiens atau penonton merupakan bagian dari kerja protokoler. Dan, ini bukan hanya di NTT, Presiden Amerika Serikat, George W Bush, dan Perdana Menteri United Kingdom, Tonny Blair pun masih melakukan hal yang sama.
Tetapi, jelas ada yang tidak sama, karena ongkos yang mereka keluarkan untuk men-setting panggung jumlahnya masih berimbang dengan tingkat perekonomian masyarakatnya, lalu bagaimana dengan kita? Para pejabat yang turun ke tempat masyarakat yang menderita kelaparan tetap memilih tampil dengan jas, bahkan sebagian masuk sawah pun dengan jas juga. Kalau di panggung ini bisa disebut salah kostum. Lalu dalam kehidupan sehari-apa, harus kita beri nama apa ini?
Dari beberapa tanda ini, para bupati dan anggota Dewan di NTT sebenarnya mungkin kesulitan mengadaptasikan gaya birokrat moderen ke dalam masyarakat kita. Bagaimana seharusnya bupati bersikap? Bagaimana ia memosisikan diri dalam masyarakat adat? Pertanyaan ini tidak pernah selesai dijawab, dan mungkin jarang ditanyakan, karena baik bupati dan anggota Dewan terjebak dalam model birokrasi mekanik, yang penting bergulir dan jalan saja. Soal isi, itu soal lain.
Contoh lain, dalam nuansa protokoler para pemain ini tampil gagah meskipun kalau bicara hasil kerja belum ada yang bisa dibanggakan. Buktinya, kelaparandemi kelaparan masih menjadi topik utama tahunan di surat kabar ini. Tetapi, rasa simpati terhadap kesulitan yang dialami oleh masyarakat secara dominan tidak tercermin dalam gaya hidup para bupati dan anggota Dewan pada umumnya. Gaya hidup para pemain utama di daerah ini tidak mewakili sosok-sosok realis, yang biasa-biasa saja, sebaliknya style mereka lebih menyerupai para pemain sinetron di televisi, yang menikmati mobil mewah dan tampil parlente.
Mungkin, ada yang protes dan mengatakan bahwa sebelum televisi menjadi populer pun tampilan para pejabat daerah sudah begitu, sehingga pola hidup mereka bukan sekadar duplikasi pesan konsumerisme dari media televisi. Lalu, apakah mereka mencontoh orang tuanya? Mungkin saja jika orangtua mereka pejabat, pengurus gereja, atau bangsawan zaman dahulu. Tetapi, apakah mungkin mereka mencontoh model penampilan orang Eropa, khususnya warga Belanda yang menjadi pegawai di salah satu koloni, tepatnya di Oost Indie? Jawabannya bisa dicari dengan menelusuri foto-foto hitam putih yang menjadi dokumen para keluarga awal yang menetap di Kupang, sebagai Ibu kota Karesidenan Timor. Itu kalau mau ditelusuri, dan mau mencari buktinya.
Kelemahan sistem
Jenis pemerintahan yang sentralistik sejak awal menjadi pilihan para pendiri republik memang rapuh. Sistem ini memang memiliki kelemahan di kemudian hari, karena dengan sistem besar dan terpusat, jika runtuh (collapse) tidak mungkin dibangun kembali hanya dalam satu windu. Ini juga sudah terbukti, karena pasca Soekarno dan Soeharto, fase nasionalisme tahap ketiga (meminjam periodisasi nasionalisme Indonesia a la Michael Leifer) di Indonesia lebih banyak bicara soal kontestasi berbagai elemen politik di pusat kekuasaan. Jadi nasionalisme Indonesia di fase ketiga, lebih banyak dialog internalnya.
Jika dilihat kembali, pada saat kepemimpinan Soeharto Negara Kesatuan Republik Indonesia memang benar-benar dikontrol dari pusat, tetapi sejak tahun 1998 kontrol itu lepas, dan tanpa kendali. Bencana di mana-mana, pertikaian elite politik tanpa prioritas kenegaraan, dan beban hutang yang luar biasa, membuat pemerintahan saat ini terjepit.
Menciptakan penampilan
Lalu, apakah di saat pemerintah pusat tidak berkonsentrasi menata alur pemerintahan di daerah, lantas para bupati dan anggota Dewan bisa bertindak semaunya? Jawaban atas pertanyaan ini tidak perlu langsung dijawab. Kita bisa melihatnya satu per satu. Harapan pemerintah pusat (baca: Presiden Susilo) terhadap para birokrat di daerah sebenarnya jelas, bahwa pemerintah daerah harus aktif, bukan menunggu perintah (Kompas).
Setidaknya ada beberapa catatan argumentasi yang bisa disampaikan. Pertama, bagaimana para bupati dan anggota Dewan memosisikan diri di hadapan masyarakat. Bagaimana panggung harus dibuat, dan bagaimana sambutan harus dipersiapkan saat pejabat hendak turun ke desa. Meriah. Cerita tentang para bupati dan anggota Dewan di masing-masing daerah, sebenarnya bisa dibukukan untuk melihat pola mereka, untuk menangkap bentuk bagaimana mereka ingin dilihat oleh orang lain.
Kedua, arus semangat egalitarian sebagai bagian dari reformasi meskipun karbitan mulai muncul di berbagai daerah di NTT. Masyarakat mulai membuat berbagai perkumpulan dan menyuarakan ketidakpuasan yang mereka alami. Namun, kritik dari masyarakat terhadap para bupati dan anggota Dewan ini tidak selamanya ditanggapi baik. Sebab utamanya para bupati, terutama, masih senang ditokohkan, dan ingin tampil sebagian pemain utama.
Ketiga, secara umum latar belakang para pejabat ini bisa dibedakan berdasarkan profesi sebelumnya: (1) birokrat, (2) aktivis partai politik sejak dulu, (3) akademisi/dosen, (4) aktivis ornop/organisasi non pemerintah, (5) anggota TNI, dan (6) aktivis ormas non partai. Melihat latar belakang ini sebenarnya cukup variatif, dan sempat timbul anggapan bahwa mereka akan mampu memberi warna di kabupaten. Tetapi apakah mungkin? Jawaban ini kita bisa cek satu per satu dengan melihat figur kepemimpinan para bupati ini dari satu pulau ke pulau yang lain. Apakah latar belakang mereka yang berbeda ini berpengaruh dalam policy yang dikeluarkan, dan bagaimana mereka ingin dilihat oleh rakyat?
Pertanyaan-pertanyaan ini, sebenarnya ingin mencari jawaban, apakah organisasi atau institusi moderen yang berbeda-beda ini pada akhirnya membawa orang untuk melihat persoalan hidup sesungguhnya, atau malah terjebak dalam skenario lama. Artinya yang terjadi lebih sekedar bentuk mimesis terhadap figur manusia unggul, tetapi sifatnya artifisial semata, sekedar penampilan dan adopsi nama organisasi.
Tantangan keluar
Tantangan untuk melihat diri, latar belakang keluarga, dan meletakkan visi ke depan, merupakan tantangan saat ini bagi para bupati, walikota, beserta wakil, dan para anggota Dewan. Persoalannya, mampukah orang-orang NTT ini keluar dari jebakan struktur cerita klasik dan membuat skenario berdasarkan realitas hidup sehari-hari tempat tinggalnya, berdasarkan persoalan-persoalan hidup sehari-hari?
Hal ini, kurang terlihat. Umumnya para pejabat langsung terjebak dalam struktur cerita lama. Bahkan sebagian memanfaatkan peraturan-peraturan yang dikeluarkan dari pusat, tanpa berusaha mengkritisi, dan menanyakan apa dampaknya untuk kabupaten? Ataukah organisasi-organisasi moderen ini sekadar menjadi kuda tunggangan, dan tindakan eksploitasi tidak pernah menemukan pengertian lokalnya? Karena selama ini sumber uang berasal dari pusat, yang jauh dan selalubenar, sehingga rakyat di daerah tidak perlu berkomentar.
Usaha mengkritisi perilaku anggota Dewan selalu dibalas dengan peraturan. Contohnya pengusiran seorang aktivis perempuan dari ruang DPRD Kota Kupang, ia digiring keluar oleh Satpol PP saat menyampaikan kritik. Perististiwa itu bisa dimaknai sebagai momentum pentas teater, pemimpin sidang benar-benar menemukan panggung karena ia sidang menunjukkan otoritasnya, dan menyatakan ini panggung saya. Tapi, apa manfaatnya untuk masyarakat?
Usaha berlindung di balik peraturan-peraturan ini tampak masuk akal jika dijelaskan dengan argumentasi yang menekankan bahwa mereka ini benar-benar bekerja untuk masyarakat. Apa buktinya? Targetnya tidak terukur.
Alasan menaikkan gaji, dengan alasan supaya terhindar dari nafsu korupsi bisa saja dibuat. Tapi, kenapa yang diberikan kepada para anggota Dewan ini semuanya bonus? Mana alat kontrol yang mengikat? Sebaliknya masyarakat semakin hari semakin diikat dengan persoalan hidup yang kebanyakan tidak mendapatkan jalan keluar, kapan giliran masyarakat mendapat bonus, layaknya para anggota Dewan dan bupati? Misalnya, apakah tega anggota Dewan di daerah mengambil jatah uang yang begitu banyak, begitu timpang jika dibandingkan dengan gaji seorang guru kontrak di pedalaman NTT? Apakah itu adil?
Dunia underground para bupati dan anggota Dewan ini sudah menjadi rahasia umum, namun tetap tabu dibicarakan dalam media massa di NTT, karena ini masih dianggap masalah pribadi dan membutuhkan kerja investigasi yang tidak sedikit. Apa yang terjadi di pusat, yang dialami Yahya Zaini, bukan barang baru bagi para wartawan kriminal malam yang berpangkal di Blok M. Tetapi, sorotan media membuat seolah-olah ini hal luar biasa, masyarakat pun dibuat kaget.
Kita yang kaget, selalu ada dalam masa lalu. Segala kemungkinan sangat mungkin muncul saat ini dengan sekian banyaknya teater hidup. Tetapi, entah kenapa, dunia teater di Nusa Tenggara Timur, tidak banyak berkembang; hal ini bertolak belakang dengan budaya umum daerah ini yang orangnya ekspresif, dan lantang berbicara? Pertanyaan penutup, kapan para bupati, walikota, para wakil, dan anggota Dewan berhenti melihat jabatan ini sebagai panggung dan benar-benar mulai bekerja? Supaya jarak antara fantasi dan kenyataan semakin dekat di NTT. Bukan sekadar meletakkan hidup sekadar panggung sandiwara, dan melakukan politik sandiwara untuk bertahan hidup?

Penulis, wartawan daerah yang sedang belajar di
University of Birmingham

Poskup 120107

Kasus dana penunjang DPRD Sikka Rp 500 juta
Kejari Maumere tetap proses verbal

Maumere, PKKejaksaan Negeri (Kejari) Maumere tidak ada rencana menghentikan (SP3) kasus dana penunjang kegiatan operasional Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sikka periode 2004-2009 tahun anggaran 2004 senilai Rp 500 juta. Pasalnya, dasar hukum yang digunakan bukan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) 110 Tahun 2000.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Maumere, Suparman, didampingi Kepala Seksi (Kasie) Intel, Ahmad Jubair, S.H dan Kasie Tindak Pidana Khusus, Binton Manalu, S.H, menjelaskan hal itu di ruang kerjanya, Selasa (9/1/2007). Dia ditemui terkait penanganan kasus dana penunjang Dewan setempat. "Kami tidak ada rencana sedikit pun untuk melakukan pemberhentian kasus dana penunjang kegiatan DPRD Sikka tahun anggaran 2004 senilai Rp 500 juta karena kami tidak menggunakan dasar hukum PP 110 tahun 2000," ujar Suparman.
Sejak awal penanganan, katanya, Kejari Maumere telah mendapat informasi dari Kejati NTT yang memberi petunjuk bahwa PP 110 Tahun 2000 akan di-judicial review sehingga untuk penanganan kasus dana penunjang kegiatan DPRD Sikka jangan menggunakan dasar hukum tersebut. "Dengan petunjuk tersebut kami menggunakan dasar hukum lain, yakni PP 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Dengan dasar hukum PP 105 tahun 2000 inilah kami memproses kasus ini," ujarnya.
Mengenai perkembangan kasus ini, lanjut Suparman, sudah ada 15 orang anggota Dewan yang dimintai keterangannya. Sisanya akan dimintai keterangan tapi secara bertahap karena saat ini anggota Dewan sementara sibuk. "Sebenarnya berdasarkan rencana, pemeriksaan kasus itu telah selesai sebelum masuk tahun baru, tapi karena berbagai pertimbangan dan juga karena kesibukan anggota Dewan, maka baru lima orang yang telah selesai dimintai keterangan. Anggota Dewan sekarang ini sangat kooperatif, karena kalau mereka tidak bisa datang mereka akan menyampaikannya kepada kami untuk dicari waktu lain," ujar Suparman.
Terkait pemeriksaan, Suparman mengatakan, pada tahap penyidikan dari 15 orang yang telah diminta keterangan, dua orang anggota Dewan yang dijadikan tersangka belum dimintai keterangan.
Untuk diketahui, dalam kasus dana penunjang kegiatan Dewan tahun 2004, Kejari Maumere menetapkan dua orang pimpinan DPRD Sikka periode 2004-2009 sebagai tersangka yakni Drs. AMK dan EPdG.
Mengenai kasus lainnya yang juga terkait dengan mantan anggota Dewan yakni kasus dana purna bakti sebesar Rp 276,5 juta, Suparman mengatakan dalam waktu dekat akan ditingkatkan ke penuntutan dimana JPU akan melihat berkas yang telah dibuat, apakah sudah lengkap atau belum. "Sekarang kami masih membutuhkan keterangan tambahan dari 10 orang mantan anggota Dewan dan setelah itu bisa ditingkatkan menjadi penuntutan,"jelasnya.
Dalam kasus purna bakti ini, ada tiga orang mantan pimpinan DPRD Sikka yang ditetapkan menjadi tersangka yakni OLMG, SW dan Drs. AMK. (ira)