Friday, August 29, 2008

Memasung Keadilan

Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD

BAGI gereja di banyak negara di Eropa Barat, salah satu pertanyaan yang kian menantang adalah bagaimana mengurus gedung-gedung gereja. Memang gereja harus berkonsentrasi pada manusia, namun dalam sejarah gereja telah membangun banyak gedung sebagai sarana ibadah dan serentak sebagai ekspresi identitas diri.
Namun, dalam perkembangan ternyata ada terlampau banyak gedung untuk sedemikian sedikit umat. Di satu pihak, menurunnya orang Kristen yang menghadiri kebaktian di gereja melahirkan pertanyaan mengenai kegunaan mempertahankan gedung-gedung sakral tersebut. Umat yang semakin menurun dilayani oleh tenaga pastoral yang semakin kurang pula. Paroki-paroki kecil digabungkan. Dengan ini kebutuhan akan gedung ibadah pun berkurang. Di lain pihak, persoalan keuangan yang semakin sulit memaksa para pemimpin gereja untuk memikirkan penghematan. Perawatan gedung menelan banyak biaya. Karena itu, langkah yang paling konsekuen dari kenyataan ini adalah melepaskan sebagian dari gedung-gedung tersebut. Caranya?

Banyak sekali orang tentu bisa memahami bahwa gereja-gereja tidak dapat lagi mempertahankan sekian banyak gedungnya. Namun, ketika pertanyaannya berkisar pada masalah cara untuk meringankan gereja dari beban yang ada, ternyata ada banyak perbedaan pendapat. Diskusi panjang dan melelahkan sering harus dilewati. Namun bagaimanapun langkah harus diambil. Ada gereja yang dijual untuk dijadikan tempat pertunjukan. Sebagian dibeli oleh sekte atau kelompok religius lain untuk tujuan yang sama, sebagai sarana ibadah. Ada pula yang dijadikan arsip dan perpustakaan, seperti bekas gereja para Fransiskan di Maastrich, Belanda. Di sana, gedung yang tua itu dipoles dengan sentuhan artisektur yang serasi menjadi sebuah tempat pembelajaran arsip dokumen-dokumen tua yang menyenangkan.

Persoalan berkenaan dengan gedung ternyata tidak hanya berkisar pada pelepasan atau penjualan. Ada gedung gereja yang terlalu sempit atau terlalu pengap untuk menjadi tempat ibadat yang menyenangkan. Orang tidak mau membangun gedung baru terpisah dari yang lama, sebab bagaimana pun yang lama telah menjadi satu pusat kehidupan umat. Di sini persoalannya adalah bagaimana menambahkan ruangan yang secara serasi dipadukan dengan gedung tua.

Salah satu contoh penggabungan yang menarik adalah gereja biara para Redemptoris (CSsR) di Wittem, Keuskupan Roermond, Belanda. Biara ini selesai dibangun pada tahun 1733 dan dihuni mula-mula oleh para biarawan Kapusin. Tidak lama setelah itu, biara ini harus merasakan akibat dari Revolusi Perancis yang meluas di Eropa pada akhir abad ke-18. Para Kapusin diusir dari Wittem. Baru pada tahun 1930-an abad ke-19, biara ini kembali dihuni. Kali ini yang datang adalah para biarawan Redemptoris. Wittem menjadi sebuah pusat studi para Redemptoris. Di tempat ini sejumlah pengajar dan pemikir yang berpengaruh pernah berkarya, seperti Pater Victor Dechamps, yang kemudian menjadi Uskup Agung Mechelen dan sangat berperan pada Konsili Vatikan I. Juga Pater W van Rossum yang menjadi kardinal pertama Belanda sejak reformasi. Kemudian dia memimpin konggregasi penyebaran iman (Propaganda Fide) di Roma.

Dengan staf yang kuat dan berpengaruh, Wittem menjadi tempat studi yang dikenal. Kemudian karena kekurangan panggilan, para Redemptoris pun melepaskan tempat ini sebagai pusat studi. Yang tertinggal adalah perpustakaan biara dan gereja yang sudah menjadi sebuah tempat ziarah.

Wittem menjadi sebuah tujuan ziarah yang banyak dikunjungi oleh para peziarah dari Keuskupan Roermond di Belanda dan Aachen di Jerman. Maklumlah, Wittem tidak jauh dari Aachen. Pada tahun 1962 dibangun sebuah ruangan di samping gereja tua. Sebuah pintu menghubungkan gereja tua dengan ruangan baru ini. Memang sangat kentara perbedaan antara keduanya. Gereja tua bergaya barok dengan sejumlah elemen gotis, memberi kesan keagungan, sementara ruang ibadat yang baru tampak cerah dan sederhana. Kendati demikian, suasana religius yang tercipta memungkinkan peralihan dari ruang yang satu ke ruang yang lain. Ruang yang baru secara khusus menjadi ruang doa bagi para peziarah yang mempunyai ujud khusus kepada Santo Gerardus Manjella, seorang bruder Redemptoris bekebangsaan Italia yang hidup dari tahun 1726 hingga tahun 1755.

Pada dinding gereja tua dapat dilihat beberapa gambar sejumlah orang kudus dengan adegan-adegan istimewa dalam hidup mereka. Semuanya memang tampak tradisional. Di ruangan doa yang baru, selain salib besar di balik altar dan sebuah patung Santo Gerardus, semuanya ditata secara modern. Pada dinding kaca ruangan ini tidak ada gambar kudus dalam arti yang tradisional. Bingkai kaca yang besar itu dipenuhi dengan gambar-gambar modern.

Di sana misalnya tertulis kata sanctus (kudus), dan di sekitarnya digoreskan sejumlah nama dari berbagai latar belakang. Ada nama Achmed yang mengitari kata sanctus. Ini sebuah ungkapan pengakuan bahwa yang menyembah Sang Kudus adalah manusia dari berbagai agama dan tradisi religius. Juga, manusia yang dapat disebut kudus, yang memancarkan kekudusan, yang turut menguduskan dunia, berasal dari berbagai latar belakang.

Yang kudus adalah yang tak terbagi, yang tidak memisah-misahkan. Dia adalah yang satu dan mempersatukan. Sebab itu, manusia tidak boleh membuat pemisahan dan pemecahbelahan atas nama Dia yang kudus. Penyembahan yang benar terhadap yang kudus adalah usaha yang telaten dan konsekuen untuk mempersatukan. Tentu saja ini merupakan satu kritik terhadap sejumlah pemahaman dan praktik beragama yang justru memisahkan dan memecahbelahkan daripada mempersatukan. Betapa jauh terkadan realitas agama dari Sang Kudus.

Di samping bingkai kaca dengan tulisan sanctus tersebut, ada sebuah bingkai lain yang berbicara mengenai keadilan. Tampaknya gambar ini hasil karya anak-anak. Inti gambar ini melukiskan keadilan yang terpasung. Ada sebuah sosok yang terbungkus dengan kain hitam bertulisan Gerechtigkei (keadilan), tak berdaya di tiang gantungan. Gambar ini dapat dibaca sebagai ungkapan lain dari salib, karena pada salib pun keadilan dibunuh secara kejam.

Memasung keadilan bukan hanya sebuah ungkapan dan tema yang ditulis dan dipajang pada transparan para demonstran yang melancarkan protes. Pemasungan keadilan harus juga menjadi tema yang mengundang keprihatinan dan kepedulian setiap orang yang beriman kepada Allah. Bertindak tidak adil adalah salah satu bentuk penolakan terhadap kedaulatan Allah. Yang menjadi masalah utama adalah bahwa orang tidak merasa bersalah ketika bertindak tidak adil. Keadilan bukan lagi menjadi sebuah norma yang harus dipenuhi, melainkan sebuah prestasi tambahan yang bisa dikejar kalau merasa memiliki tenaga lebih.

Dalam konteks keseluruhan bangunan gereja di Wittem, keadilan adalah memberi ruang pengartikulasian diri. Yang lama dan yang baru mendapat ruang yang memadai untuk diartikulasikan. Namun pengartikulasian ini tidak menghantar kepada pemisahan diri secara total dari yang lain, tidak harus menjadi alasan bagi kesewenang-wenangan. Sambil mengartikulasikan diri dan kepentingannya, orang masih tetap memberi ruang untuk memasuki dan menghargai apa yang menjadi kekhasan dari kelompok atau tradisi yang lain. Keadilan hanya tercapai, apabila orang tidak menjadi egoistis dalam perwujudan apa yang menjadi haknya.

Memasung keadilan pun bukan hanya sebuah tema di negara-negara di belahan selatan bumi. Di Eropa dan Amerika pun keadilan sering terpasung. Diskriminasi internal memang dapat lebih mudah dicegah melalui perangkat hukum yang memadai. Namun perangkat hukum tidak selalu memggambarkan apa yang hidup di dalam hati dan pikiran seseorang. Tidak sedikit orang yang secara tersembunyi, di rumah atau dan terlebih di dalam hati dan pikirannya, masih sering menghidupkan diskriminasi. Pemikiran dalam bingkai stereotip, yang mengkotak-kotakkan orang hanya berdasarkan beberapa pengalaman sporadis. masih agaknya masih cukup meluas.

Persoalan pemasungan keadilan menjadi lebih jelas apabila kita berpikir secara global. Berapa banyak ketidakadilan yang diperkokoh oleh pemberian bantuan luar negeri atau dalam investasi dunia usaha. Bantuan luar negeri menciptakan ketergantungan, yang jika tidak dikritisi, akan terus memojokkan negara-negara miskin. Investasi dunia usaha ke luar negeri sering merupakan pelarian mencari kondisi usaha yang murah demi perolehan keuntungan yang kian besar. Ketentuan perlindungan tenaga kerja yang masih longgar dan peraturan lingkungan yang belum konksekuen memungkinkan produksi dengan biaya rendah. Penekanan biaya produksi menjadi dasar bagi penngkatan keuntungan. Karena realitas seperti ini, maka sewajarnya masalah keadilan menjadi masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat Eropa.

Keadilan adalah salah satu tema utama dalam hal beragama. Selain ditematisasi di dalam doa, lagu dan kotbah, penataan gedung dan lukisan dapat mempertajam kepekaan orang akan pentingnya kepedulian dan partisipasi dalam memperjuangkan keadilan. Agama-agama sejatinya semakin menaruh perhatian dan kepedulian terhadap masalah keadilan. *


Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

Thursday, August 14, 2008

Membangun Kabupaten Sikka Dengan Pola Partisipatif

Oleh : Urbanus Lora

SEUASI dilantik menjadi Bupati Sikka periode 2008-2013, Drs. Sosimus Mitang mengedepankan dua program utama dalam membangun Kabupaten Sikka lima tahun ke depan, yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan oleh rakyat serta sinkronisasi kebijakan dari pemerintah tingkat pusat hingga daerah atas kemauan rakyat (Pos Kupang, 1/6/2008). Konsep pembangunan yang dikemukakan menarik untuk dikaji. Duet kepemimpinan Drs. Sosimus Mitang dan dr. Wera Damianus, MM, yang dikenal dengan paket Soda ini sangat responsif terhadap tuntutan perubahan dan memiliki pandangan yang cukup populis dalam menata model pembangunan Kabupaten Sikka mendatang. Di era otonomi daerah memang butuh pemimpin yang inovatif, visioner serta keberanian untuk menggerakkan perubahan. Paket Soda paling tidak telah menunjukan politcal will untuk mengubah manajemen pembangunan daerah ke arah desentralisasi melalui pendekatan partisipatif yang berbasis pemberdayaan masyarakat lokal.

Adagium partisipasi sesungguhnya telah berlangsung sejak era 1980-an. Namun partisipasi lebih dimaknai dengan kehadiran masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang) di level desa atau kelurahan. Setelah itu masyarakat praktis tidak lagi dilibatkan pada tahapan selanjutnya (lebih bersifat top down dan orientasi proyek). Penerapan partisipasi seperti ini terkesan 'setengah hati', antara 'ada dan tiada'. Bahkan oleh Drs. Agustinus Q Bebok, M.Si mantan Kabid UEM BPMD Propinsi NTT, telah terjadi perampasan daya kemampuan (capability deprivation) dari masyarakat sehingga tercipta 'kesadaran palsu' dan 'partisipasi palsu.'

Duet kepemimpinan Soda rupanya menyadari kondisi ini dan menginginkan masyarakat dilibatkan secara penuh (participatory) mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dalam proses pembangunan. Suatu terobosan baru yang tentu saja harus diikuti dengan berbagai instrumen berupa kebijakan maupun regulasi sehingga dapat dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan secara yuridis dan sosio-politik.

Semangat Otda
Wacana partisipasi (pelibatan masyarakat secara penuh) yang dilontarkan paket Soda sejalan dengan ranah otonomi daerah (Otda). Lahirnya UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan paradigma pembangunan yang signifikan dari yang sentralistik ke arah desentralisasi untuk tingkat kabupaten/kota. Filosofi Otda adalah pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemeritah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tengganya sendiri. Digariskan pula pelaksanaan Otda harus bertumpuh pada prinsip partisipasi, demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. Platform politik Otda ini jelas memberikan ruang bagi daerah untuk berkreasi dan berinovasi, meredisain berbagai kebijakan dan strategi pembangunan, mendayagunakan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki dengan mengerahkan partisipasi seluruh warga masyarakat demi mencapai kesejahteran bersama.

Pelaksanaan Otda membutuhkan cara berpikir dan bertindak yang utuh, padu dan menyeluruh dari segenap stakeholder pembangunan. Tiga domain pembangunan yakni pemerintah daerah, DPRD dan masyarakat (civil society) perlu membangun dialog yang terbuka dan bebas serta bersama-sama merumuskan berbagai strategi pembangunan guna mewujudkan Otda yang nyata dan bertanggung jawab. Dengan semangat Otda, sudah semestinya mampu memberikan daya dorong dan menggugah timbulnya kesadaran bersama, menyatukan persepsi, dan gerak langkah bersama dengan menjadikan partisipasi masyarakat sebagai suatu proses yang melekat dalam setiap tahapan pembangunan. Partisipasi masyarakat sudah saatnya harus menjadi main stream (pengarusutamaan) dari setiap tahapan pembangunan di era Otda, yang niscaya akan mampu mengakselerasi pembangunan demi terciptanya masyarakat yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera.

Mewujudkan pambangunan partisipatif membutuhkan tata pemerintahan yang baik (good gavernance). Penataan biorkrasi seyogyanya mencerminkan reformasi birokrasi pemerintahan yang solid, profesional, proaktif dan terpercaya dalam pelayanan publik yang paripurna. Sedangkan reformasi di bidang pembangunan perlu adanya reorientasi dan revitalisasi konsep dan implementasi pembangunan partisipatif. Hal ini penting sebab, birokrasi yang selama ini terpola dengan sistem proyek akan menjadi tantangan tersendiri bagi terselenggaranya model pembangunan partisipatif yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Penguatan kapasitas birokrat adalah mutlak guna menciptakan aparatur yang menjadi akselerator dan dinamisator yang dapat membawa perubahan sikap mental di lingkungan pemerintah, perubahan tata kemeperintahan serta pendampingan masyarakat.

Selain itu DPRD sebagai lembaga legislatif daerah harus menjadi mitra pemerintah yang sepadan, memiliki sikap kritis, empatif dan responsif terhadap tuntutan perubahan. Dalam menjalankan tiga fungsi utamanya DPRD harus memperlihatkan kepedulian dan keperpihakan kepada rakyat yang diwakilinya terutama pro kepada masyarakat miskin dengan ikut memberikan kontribusi yang signifkan dalam perumusan kebijakan pembangunan yang lebih partisipatif. Wujud nyata dari fungsi yang diemban adalah bersama pemerintah daerah melahirkan kebiajakan yang pro poor regulation, pro poor budgeting, dan pro poor controling.
Sementara pihak masyarakat harus lebih mendasarkan tuntutan perubahan dan mampu menaikkan posisi tawar (bergaining) dengan pemerintah dan DPRD. Melalui kelembagaan yang ada (civil society) diharapkan mampu mempengaruhi lahirnya kebijakan publik yang transparan dan berpihak kepada masyarakat dengan memperjuangakan model pembangunan partisipatif di daerah. Perubahan sistem politik pilkada saat ini semestinya posisi tawar masyarakat menjadi lebih kuat dan berdaya. Siapapun dia calon pemimpin yang tampil di arena pilkada, masyarakat bisa menawarkan model pembangunan yang dikehendaki dan manjatuhkan pilihan politik yang tepat. Dan saya berpikir rakyat Kabupaten Sikka telah memberikan dukungan politik yang tepat kepada Soda karena program pembangunan partisipatif yang ditawarkan.

Mengadopsi Pola PNPM-MP
Pemerintah saat ini telah menyadari bahwa melibatkan masyarakat hanya sebatas perencanaan saja tidak cukup dan telah mendatangkan banyak kerugian secara sosio-politik. Belajar dari pengalaman itu di era 1990-an diluncurkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang kini diubah nomenklaturnya menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP). Program ini lahir sebagai kilas balik dari kegagalan program-program sebelumnya, dengan mengarusutamakan pendekatan participatory sebagai ikon pembangunan di era reformasi.

PPK atau PNPM-MP sebenarnya digulirkan oleh pemerintah pusat sebagai media pembelajaran bagi pemerintah daerah guna menemukan model pembangunan yang lebih sesuai dengan semangat Otda. Oleh karenanya pemerintah daerah diharapkan dapat mengadopsi pola PPK untuk diintegrasikan ke dalam manajemen pembangunen reguler. Dari sini terdapat benang merah antara kebijakan pemerintah pusat dengan program strategis paket Soda, yakni sinkronisasi kebijakan dari pemerintah tingkat pusat hingga daerah atas kemauan rakyat. Jika memang hal ini telah menjadi tekad Soda, maka mengadopsi pola PNPM-MP menjadi alternatif yang patut dilaksanakan.

Pelaksanaan PPK didesain dengan grand strategy menuju kemandirian masyarakat. Untuk mencapai kemandirian masyarakat membutuhkan limit waktu yang panjang, dan diperkirakan program ini akan berlangsung sampai dengan tahun 2015. Grand strategy tersebut dimulai dengan tahapan inisiasi yang diawali dengan pilot project di beberapa kecamatan. Menyusul pelaksanakan PPK I dan II (1998 - 2005) sebagai tahapan internalisasi program kepada pemerintah daerah dan masyarakat. PPK phase III (2006 - 2007) adalah tahapan pelembagaan sistem PPK ke dalam manejemen pembangunan reguler. Pada tahapan ini pemerintah pusat gencar mengkampanyekan skenario pengintegrasian tersebut di antaranya melalui proses hearing dengan DPRD seluruh kabupaten dan propinsi. Sayangnya, belum mendapat tanggapan serius baik dari pemerintah daerah dan DPRD dan beberapa agenda pengintegrasian pun mandeg. Disusul PNPM-MP (2008-2009) merupakan tahapan lanjutan dari proses pengintegrasian menuju kemandirian, dalam arti daerah sudah dapat mengadopsi pola PPK kedalam sistem pembangunan daerah.

Yang menarik dan patut ditiru dari pelaksanaan PPK sejak 1998 di seluruh Indonesia adalah skema pemberdayaan (empower) dengan melibatkan masyarakat secara penuh sejak perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan dan pelestarian terhadap hasil-hasil kegiatan PPK. Perencanan dimulai dengan penggalian gagasan di tingkat kelompok dan dusun. Selanjutnya dilakukan Musyawarah Desa Perencanaan untuk menetapkan prioritas usulan desa dan terakhir digelar Musyawarah Antar Desa (MAD) di tingkat kecamatan guna penentuan rangking usulan dan pendanaannya. Forum ini merupakan pengambilan keputusan tertinggi dan final.

Dengan dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang dialokasikan di setiap kecamatan antara Rp 1 miliar sampai Rp 3 miliar masyarakat sendiri yang melaksanakan kegaiatan dengan mekanisme swakelola. Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan pun oleh masyarakat dengan dibentuk Badan Pengawas untuk mengendalikan pengelolan keuangan oleh Unit Pengelola Kegaiatan (UPK) di tingkat kecamatan dan di desa oleh Tim Masyarakat Pemantau untuk mengawasi pengelolaan kegiatan dan keuangan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Masyarakat pula yang bertanggung jawab memelihara dan melestarikan hasil-hasil kegiatan PPK dengan dibentuk Tim Pemelihara di desa.

Yang mau digarisbawahi di sini sistem PPK dengan pendekatan participatory-nya sebagai model pembelajaran dan pemberdayaan telah mendarat dan tertanam kuat di tingkat masyarakat perdesaan. Selama kurun waktu satu dasawarsa ini PPK telah membangun dan membangkitkan kembali human capital dan social capital yang terpendam atau 'dipendamkan' di arus bawah. Masyarakat desa telah mampu mengelola proyek yang bernilai ratusan juta. Modal sosial seperti swadaya, gotong royong dan solidaritas kembali tumbuh-mekar. PPK telah menyediakan berbagai sarana dan prasarana dasar, pendidikan dan kesehatan serta modal usaha bernilai miliaran rupiah. Dengan mekanisme swakelola, terjadi pula penghematan anggaran yang cukup besar jika dibandingkan dengan proyek.

Pemerintah daerah dan DPRD semestinya tanggap terhadap tren perubahan masyarakat yang terjadi melalui mekanisme pembangunan partisipatif tersebut. Pengintegrasian PNPM-MP yang ditawarkan oleh pemerintah pusat selayaknya mendapatkan tempat di hati para punggawa pembangunan di daerah. Kalau itu yang terjadi maka pendekatan keproyekan semata sudah harus mulai beralih ke pendekatan keprograman yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Partisipasi membutuhkan pengakuan, dan bukan pemberian. Dengan demikian masyarakat sebagai mitra dan pelaku pembangunan tidak lagi sekadar sloganistik belaka melainkan telah mendapatkan tempat yang terhormat di era Otda.

Perda Paritipatif
Pelaksanaan Otda seyogyanya diiringi dengan penciptaan berbagai regulasi yang dapat melindungi kebijakan pembangunan yang ditempuh. Namun demikian selama ini terkesan pemerintah daerah dan DPRD kurang kreatif untuk membuat berbagai peraturan daerah (Perda) sebagai payung hukum pelaksanaan Otda. Banyak alasan yang dikemukakan diantaranya Otda masih dalam masa transisi, atau belum ada 'petunjuk' dari pusat. Padahal iklim regulasi nasional terus bergerak maju yang harus diikuti dengan pembuatan Perda sehingga bisa diterapkan secara lebih teknis sesuai karakteristik dan kebutuhan daerah.
Mengingat betapa pentingnya partisipasi sebagaimana telah diamanatkan dalam semangat Otda, maka perlu perda yang relevan dan memposisikan masyarakat secara lebih proporsional. Manfaat Perda pembangunan partisipatif selain sebagai payung hukum, juga demi menjaga keberlanjutan (sustainibility) kebijakan dan program yang telah menjadi konsensus publik. Sebab selama ini ketika terjadi pergantian kepala daerah, sering pula banyak kebijakan dan program diganti, yang diduga cenderung membawahi kepentingan pribadi kepala daerah yang bersangkutan ketimbang kepentingan publik. Ini merupakan 'bahaya' pembangunan yang sudah saatnya dihentikan.

Formulasi perda pembangunan partisipatif merujuk pada upaya memadukan tiga pendekatan perencanaan pembangunan (sebaimana termaktub dalam UU No.25 /2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), yakni proses peolitik, teknokratis dan partisipatif. Dalam formulasi tersebut proses partisipatif harus dikedepankan. Sebab dominasi proses politik dan teknokratis yang dijalankan selama ini tidak berpihak bahkan mengingkari proses partisipatif. Padahal proses politik yang mendokumentasikan pilihan publik belum sepenuhnya mampu mengartikulasi aspirasi masyarakat. Sementara dominasi proses teknokrat baik penentuan prioritas kebutuhan dan anggaran kurang mencerminkan adanya perencanaan yang memiliki perspektif visioner dan realistis. Ke depan proses partisipatif harus mendapat porsi terbesar guna menghindari adanya klaim pilihan publik palsu serta prioritas kegiatan dan anggaran yang lebih menjawabi kebutuhan riil masyarakat.

Di tengah tersisihnya proses partisipatif muncul PNPM-MP sebagai model alternatif di luar sistem reguler. Baik perencanaan program, perencanaan anggaran maupun pelaksanaan kegiatan ala PNPM-MP menawarkan proses yang demokratis dan partisipatif. Nah, yang perlu disikapi pemerintah daerah dan DPRD adalah menjadikan PNPM-MP sebagai salah satu best pratice dalam mereformulasi kebijakan dan strategi pembangunan daerah dalam bentuk perda.
Inilah barangkali tugas pertama yang harus dilaksanakan oleh paket Soda jika mau membangun Kabupaten Sikka ke depan dengan model partisipatif. Rakyat Kabupaten Sikka tentu akan menyambut gembira dan mendukung sepenuhnya kebijakan dan program-program pembangunan yang mampu menjawabi kebutuhan mereka. Alangkah indahnya jika pernyataan dan janji-janji kampanye, tidak sekadar retorika politik semata tetapi harus direalisasikan secara konsisten dengan penuh kejujuran dan ketulusan hati sang pemimpin. Janganlah sekali-kali mengibuli rakyat dengan janji palu demi sebuah kemenangan. "Bergembiralah, tapi janganlah dalam kegembiraan itu kita berbuat dosa, kerena itu menyakiti hati Tuhan dan sesama (rakyat)," demikian kata Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Parera, SVD dalam kotbahnya pada misa syukur pelantikan paket Soda tersebut.*

Konsultan Manejemen Nasional PNPM-MP / PPK Propinsi NTT