Tuesday, December 30, 2008

50 Tahun NTT dan Orang Miskin
(Dari Bedah dan Pameran Buku Penerbit Lamalera)


DESEMBER dapat dikatakan sebagai bulan refleksi di mana ada lima perayaan penting bagi masyarakat NTT. Tanggal 1 Desember peringatan Hari AIDS sedunia, 10 Desember Hari HAM sedunia, 20 Desember HUT NTT, 22 Desember Hari Ibu dan 25 Desember, Hari Natal. Lima momentum ini selalu berhubungan dengan orang kecil dan tertindas. Orang kecil, dalam bahasa politik disebut dengan rakyat yang oleh Dr. Fred Benu dalam bedah buku Kampung, Bangsa, Dunia, 50 Tahun NTT karya P. Paul Budi Kleden, SVD ingin memberi batasan jelas, siapa itu rakyat? Apakah termasuk pejabat birokrat, penguasa, dan pemilik modal? Ataukah rakyat adalah mereka yang kecil, miskin dan tertindas?

Saya memandang buku P. Paul Budi Kleden, SVD dalam konteks politik identitas. Kampung, sebagai wujud otonomi daerah dengan geliat primordialismenya, dunia sebagai wujud globalisasi yang menghegemoni dan di tengahnya ada bangsa yang mengalami problem nasionalisme. Bahasa yang lain dari kampung adalah rakyat kecil sebagai titik sampai dari perjalanan peradaban hingga kini. Pengertian lainnya, bangsa dan dunia saat ini juga sudah menjadi satu kampung besar (global village) dalam proses interaksinya.

Dalam bedah buku yang diselenggarakan Penerbit Lamalera Jakarta, lembaga yang dilahirkan anak tanah NTT di perantauan, dihadirkan pula artis kawakan Happy Salma sebagai penulis buku Telaga Fatamorgana (kumpulan cerpen). Happy yang sudah berkecukupan dengan glamouritas dunia selebriti kepada para peserta mengakui tetap memiliki waktu untuk merenung dan melihat realitas kehidupan orang kecil sebagai cermin untuk melihat dirinya sendiri; apakah tersisa ruang baginya untuk sebentuk kepedulian? Saya sebagai peserta dalam kesempatan itu mengharapkan Happy tetap konsisten berkarya sastra karena sastra dalam banyak sejarah politik mampu meruntuhkan regim-regim kekuasaan yang ototiter, menindas dan tidak adil. Menyisakan ruang bathin bagi orang kecil adalah problem mesin moderen.

Keberpihakan kepada orang kecil dan miskin sekali lagi mesti dipantulkan sebagaimana P. Paul Budi Keleden, SVD mengatakan, kita jangan pernah lelah untuk bicara dan berteriak tentang ketidakadilan meskipun seperti menubruk tembok tebal ketidakpedulian. Kekuatan bicara dan teriak dapat dihadirkan melalui kekuatan kata dalam tulisan. Tulisan adalah suara. Suara yang kita lantangkan bisa sebagai penyanyi solo, duet, trio, kwartet ataupun koor, tetapi terpenting adalah lagu rakyat, nyanyian rakyat. "Tulisan juga adalah perjuangan hidup," kata Happy Salma. NTT mestinya juga patut berbangga kepada seorang Mezra Pellandou, perempuan cerpenis dan kritikus sastra. Hari Ibu, 22 Desember patut kita persembahkan untuk perempuan-perempuan hebat. P. Paul Budi Kleden, SVD menaruh harapan kepada kaum muda NTT untuk terus memperjuangkan perubahan dan pembaharuan, membela kepentingan kaum tertindas marhaen, memberikan pencerahan politik nilai di tengah geliat politik materi yang berdaya rusak tinggi.

Apa sebab? Salah satu gejala yang ditangkap dengan cermat oleh P. Paul Budi Kleden yakni munculnya budaya politik mayoritas modal (Paul Budi Kleden, 2008), di mana politik dikontrol oleh kekuatan mayoritas modal (kaum beruang) atau dalam bahasa Pius Rengka, SH, M.Si, demokrasi sudah dibajak oleh para pemilik modal.

Kalau demokrasi sudah terbajak, jalan kepada penciptaan kesejahteran umum (bonum commune) akan semakin sulit tergapai. Demokrasi yang terbajak tidak menyediakan ruang yang cukup bagi partisipasi kritis dan kemandirian rakyat. Sebaliknya demokrasi terbajak akan terus membiarkan proses akumulasi modal hanya bagi segelintir 'politisi' kapitalis dalam mana mereka dapat membeli kesadaran kritis rakyat untuk hanya berkemampuan election (memilih) tetapi tidak berkemampuan selection (menyeleksi kandidat). Akibatnya, in put dan process politik menyisakan out put politik berupa aktor dan produk kebijakan yang terus menghisap kepentingan rakyat. Akan menjadi keprihatinan kita bersama manakala tidak ada para pihak yang sanggup melindungi kepentingan rakyat, apalagi jika para pihak yang lain turut termanipulasi dalam model politik terbajak tersebut.

Alhasil, politik tidak berkorelasi sama sekali dengan kesejahteraan umum sebagaimana idealnya.Suatu koreksi teoritis dapat menjadi acuan kepada usaha memerangi kemiskinan sebagai tugas politik dan demokrasi. Orang mesti mengenal sebab kemiskinan untuk memerangi kemiskinan. Pdt. Eben Nuba Timo (dalam Anak Matahari, 2007) mengutip pendapat Clodovis Boff tentang tiga kategori orang miskin dalam masyarakat kapitalis, yakni, pertama : mereka yang diasingkan dari hak-hak memperoleh kesejahteraan ekonomi, kedua : mereka yang dicabut dan diasingkan dari budaya, tradisi dan kepercayaan asli, dan ketiga : mereka yang dibuang jauh dari pusat-pusat perkembangan dan pembangunan. Cara untuk mengatasi kemiskinan masa kini haruslah cara struktural karena kemiskinan lahir sebagai buah dari sistem yang memiskinkan. Pada titik ini, rakyat harus dijadikan subyek yang sungguh partisipatif bukan sebagai obyek yang termobilisasi dan termanipulasi.

Kegiatan bedah buku dan pameran buku Penerbit Lamalera dapat kita pandang sebagai satu suara dan teriakan untuk menyumbang kepada pengetahuan, kesadaran kritis dan perubahaan moral publik dalam tujuannya membuat para pihak serius mengangkat martabat NTT sebagai daerah bersaing, maju dan berdaya tawar. Apresiasi bagi Penerbit Lamalera sebagai salah satu simbol bahwa NTT bisa. Saat ini masih sekitar 27% rakyat NTT miskin, 80 % petani, 79 % pendidikan di bawah SD dan penyumbang terbesar PAD justeru dari bidang kesehatan (RS) yang berarti bahwa semiskin-miskinnya masyarakat NTT dan dalam keadaan sakit, mereka masih memberikan kontribusi besar bagi pendapat daerah. Maka tugas berikutnya bagi para aktor pembuat kebijakan publik untuk segera menerapkan filosofi Anggur Merah (Anggaran untuk rakyat menuju sejahtera) dalam produk APBD Provinsi NTT dan secara bertahap, pasti dan meyakinkan, mulai merubah kecenderungan inefisiensi pembangunan kepada efektivitas pembangunan yang ditandai oleh :

  1. Menentukan sektor prioritas.
  2. Membuat perencanaan yang partisipatif (sesuai kebutuhan rakyat sehingga tidak ada silpa).
  3. Porsi anggaran yang lebih besar bagi belanja rakyat.
  4. Anggaran yang semakin kecil (baca : sesuai dengan kebutuhan rasional dan proporsional) bagi aparatur.
  5. Mengurangi perda retributif dan memperbanyak perda pemberdayaan rakyat.
  6. Menekan kebocoran dan korupsi dana APBD melalui pengawasan ketat dan perbaikan mekanisme tender.
  7. Akan menurunnya angka buta huruf, angka kematian bayi, angka kemiskinan dan naiknya HDI (Human Development Index).
Dalam aspek lain kita melihat keseriusan duet Gubernur-Wakil Gubernur, Frans-Esthon untuk membangun kedaulatan lokal (baca : kampung) berupa kebijakan hari konsumsi pangan lokal. Kebijakan konsumsi pangan lokal kongruen dengan buku P Paulu Budi Kleden dalam suatu setting politik identitas bahwa kampung masih ada dan harus tegak di tengah hingar bingar globalisasi yang hendak meruntuhkan nasionalisme (baca : bangsa). Frans-Esthon juga berhasil menggagas kerja sama Sunda Kecil sebagai salah satu cara tepat untuk membangun regionalisasi ekonomi guna mengatasi laju pasar bebas. Sunda kecil dapat kita pandang sebagai usaha sebuah kampung regional untuk saling menopang dan mengisi kekurangan dalam prinsip subsidiaritas. Bali dapat membantu mendorong pergerakan ekonomi rakyat NTT melalui interaksi pariwisata dan budaya. Bali juga dapat menjadi tujuan 'ekspor' hasil-hasil laut dan hasil pangan NTT untuk konsumsi para turis asing dan domestik. Upaya regionalisasi ekonomi ini tentu bukan euforia romantisme masa lalu tetapi diikuti perubahan etos dan implementatif dalam berbagai bentuk kerja sama. Marilah belajar dari Eropa sebagai salah satu raksasa ekonomi yang membangun Uni Eropa untuk caranya membentengi kepentingan nasional bangsa-bangsa Eropa dari penghisapan pasar bebas.

Kita harap jajaran birokrasi mulai memberi contoh dengan menghargai makanan-manakan lokal dalam setiap kegiatan kepemerintahan seperti snack-snack makanan lokal, sajian makan siang dari makanan lokal, sajian makan malam dari makanan lokal serta budaya makan dengan mengurangi frekwensi kunjungan ke KFC ataupun jenis-jenis makanan cepat saji lainnya. Tidak ada yang sulit luar biasa untuk tidak kita lakukan. NTT tinggal membutuhkan gerakan moral pengabdian karena bagaimanapun, ekonomi dan politik sebagai dua jalan menuju kesejahteraan umum adalah soal aktivitas manusia. Soal aktivitas manusia adalah soal ideologi, pengetahuan, ketrampilan, prinsip, pilihan, kepentingan dan moral yang menggerakkan. Yesus Kristus Sang Raja saja begitu sederhana, merakyat dan berpihak, apalagi kita umatnya? Selamat Damai Natal 2008 dan Bahagia Tahun Baru 2009. *

Oleh Emanuel Kolfidus
Pemerhati sosial, tinggal di Kupang.

No comments: