Thursday, July 31, 2008

Depolitasi Birokrasi Dan Debirokratisasi Politik

Oleh Norbert Jegalus

SIAPA sih Lebu Raya itu? Hanya karena ia Ketua Partai PDI Perjuangan NTT berambisi menjadi gubernur. Tidak ada lagikah pejabat teras birokrasi NTT untuk memimpin propinsi ini daripada seorang rakyat, Lebu Raya itu? Apakah itu tidak merupakan langkah keliru memilih seorang rakyat yang tidak berpengalaman dalam bidang birokrasi pemerintahan menjadi gubernur?

Itulah pertanyaan yang muncul jauh-jauh hari menjelang pilkada dan terlebih dalam suasana rivalitas kampanye pilkada. Saya membahas persoalan itu dalam kerangka teori politik atau lebih umum sekarang dikenal dengan sebutan ilmu politik normatif, yang mempersoalkan atau mempelajari tentang Das Sollen (apa yang seharusnya atau apa yang normatif) dalam dunia politik: Apakah seharusnya orang-orang yang berpengalaman di dunia birokrasi pemerintahan memimpin pemerintahan?

Depolitisasi birokrasi
Dari kaca mata teori politik sebenarnya hanya ada dua penghalang pembangunan demokrasi kita selama pemerintahan Orde Baru Soeharto, yakni militerisasi politik dan birokratisasi politik. Isi pengetahuan politik masyarakat pada waktu itu tidak lain bahwa yang pantas memangku jabatan politik gubernur, walikota dan bupati hanya birokrat dan militer. Yang muncul dalam wacana suksesi kepala daerah hanyalah diskusi seputar pencalonan dan pemilihan pejabat teras birokrasi pemerintahan seperti sekda, kepala dinas/kantor, kepala biro dan rupa-rupa jabatan penting di birokrasi pemerintahan. Bagi orang-orang di birokrasi dan juga masyarakat pada umumnya, itu adalah sangat rasional dan sudah seharusnya, karena orang-orang birokrat mengetahui dengan baik seluk-beluk birokrasi pemerintahan daerah. Bagaimana mungkin seorang yang tidak berpengalaman di dunia pemerintahan bisa memimpin pemerintahan daerah? Begitu kira-kira argumentasinya. Padahal argumentasi itu sama sekali tidak memiliki nilai normatif, bahkan harus dikatakan semu dalam kerangka paham demokrasi.

Bureaucratic polity itu berkaitan erat dengan eksistensi Golkar yang mengidentikkan dirinya dengan pemerintahan, namun tidak memandang diri sebagai partai yang memerintah meski ia mengikuti pemilihan umum bersama parpol PDI dan PPP. Demikianlah rezim Orba mengelola institusi birokrasi dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Penguatan terhadap lembaga Golkar dengan cara 'golkarisasi' seluruh jajaran birokrasi dari pusat sampai ke daerah adalah bentuk kebijakan politik Soeharto yang mampu memberi dukungan penuh terhadap cita-cita pemerintahannya. Itulah sebabnya, begitu rezim Orba tumbang, maka kebijakan politik yang paling utama dalam rangka pembangunan demokrasi adalah kebijakan demiliterisasi politik dan depolitisasi birokrasi.

Sejak itu dibuat pemisahan tegas antara birokrasi dan politik. Mesin politik sebagai perwujudan demokrasi kedaulatan rakyat. Melalui institusi partai politik, ia merekrut politisi untuk menduduki jabatan politik di lembaga legislatif dan eksekutif untuk membentuk dan mengepalai pemerintahan. Sedangkan mesin birokrasi adalah lembaga negara yang memiliki pengetahuan teknis-birokratis dalam bidang administrasi pemerintahan untuk menjalankan kebijakan politik pemerintahan.

Mesin birokrasi tidak bisa jalan sendiri dan juga tidak bisa jalan dengan sendirinya. Ia tidak bisa jalan sendiri, karena ia adalah lembaga politik negara yang diangkat oleh negara secara permanen untuk melaksanakan kebijakan politik sebuah pemerintahan yang terpilih. Jadi ia berjalan berdasarkan arah program politik pemerintahan yang ada; ia tidak mempunyai program politik sendiri. Juga ia tidak bisa berjalan dengan sendirinya tanpa mesin politik, karena kalau ia berjalan dengan sendirinya, maka ia akan berhadapan dengan sebuah pertanyaan yang sangat fundamental dalam kerangka paham demokrasi: dari mana ia mendapatkan kekuasaan untuk memerintahkan rakyat atau menjalankan pembangunan daerah kalau bukan dari rakyat itu sendiri? Padahal rakyat tidak pernah memberikan kekuasaannya kepada mesin birokrasi selain kepada mesin politik.

Hal itulah yang didiskusikan pada awal reformasi dengan pertanyaan yang kelihatan sederhana tetapi sangat mendasar dalam proses demokratisasi: mengapa birokrasi berkuasa? Seperti disinggung di atas, jawabannya ialah karena rezim Orba mempraktekkan bukan demokrasi melainkan bureaucratic polity.

Sadar bahwa mesin birokrasi adalah ujung tombak pelaksanaan kebijakan politik sebuah pemerintahan, maka sejak awal reformasi kita membuat kebijakan penguatan birokrasi dengan jalan mendepolitisasi birokrasi. Sejak itu Golkar dipisahkan dari birokrasi pemerintahan dan para Pegawai Negeri Sipil tidak hanya dipisahkan dari Golkar tetapi juga dilarang untuk berpartai-politik. Pemisahan itu tidak hanya membantu mesin politik untuk menghidupkan demokrasi dengan benar tetapi juga membantu menguatkan mesin birokrasi itu sendiri sebagai institusi politik negara untuk menjalankan pelayanan kepada masyarakat tanpa diganggu oleh kepentingan politik.

Debirokratisasi politik
Kita perlu terus terang mengakui bahwa yang terjadi selama ini hanyalah pembangunan politik yang demokratis baru pada lembaga legislatif, meski masih ada ketimpangan dan keterbatasannya dan belum ada pada lembaga eksekutif. Kita harus mengakui bahwa belum ada pembagunan politik yang demokratis dalam lembaga eksekutif, yang terjadi adalah masih pembangunan politik yang birokratis. Artinya, birokrasi tetap menjadi isu sentral dalam proses pemilihan kepala daerah seperti pada era bureaucratic polity rezim Orba.
Birokrasi pemerintahan menjadi kata kunci dalam pembentukan pengertian, kesadaran dan sikap politik baik rakyat secara individu maupun rakyat secara institusional dalam bentuk lembaga politik seperti parpol atau organisasi-organisasi dari kekuatan civil society. Kedangkalan pemikiran kita terletak dalam kenyataan bahwa kita masih memahami demokrasi dalam kerangka bureaucratic polity seperti yang dipraktekkan rezim Orba, di mana suara rakyat dalam pilkada sebenarnya dipakai sekadar untuk 'meresmikan' birokrat menjadi pejabat politik melalui proses yang kelihatannya demokratis.

Kalau boleh saya catat, kita baru memiliki tiga pemilihan kepala daerah di NTT yang demokratis in sensu stricto (dalam arti tegas). Jadi tidak hanya prosesnya demokratis tetapi juga pilkada itu sudah menyentuh isi paham demokrasi (rakyat berkuasa), meski masih dengan segala keterbatasannya, yakni terpilihnya Aleks Longginus menjadi Bupati Sikka periode lalu, terpilihnya Simon Hayon menjadi Bupati Flotim 2004-2009 dan yang sekarang ini, terpilihnya Frans Lebu Raya menjadi Gubernur NTT untuk periode 2008-2012. Beberapa suksesi kepala daerah selain itu, kalau saya tempatkan dalam kaca mata teori politik modern, sebenarnya kita hanya menjalankan legitimasi pejabat birokrasi pemerintahan untuk menjadi pejabat politik walikota dan bupati dalam bingkai demokrasi, seperti adanya konsep pemilihan kepala daerah sacara langsung oleh rakyat yang diusung oleh parpol atau gabungan parpol; seakan-akan paham demokrasi itu hanya menyangkut persoalan bagaimana suara atau keinginan rakyat disalurkan.

Mengapa birokratisme politik itu masih terjadi? Bukankah reformasi kita adalah reformasi total, yakni bukan saja kita melakukan reformasi politik melainkan juga reformasi birokrasi? Reformasi politik tidak akan membawa banyak perubahan yang positif bagi pembangunan politik yang demokratis tanpa kita melakukan reformasi birokrasi, karena reformasi kita lahir dari penyimpangan bureaucratic polity yang menyatukan birokrasi dan politik. Penyatuan itu tidak hanya melanggengkan kekuasaan rezim Orba tetapi juga memberikan keuntungan bagi birokrat di tingkat daerah. Para birokrat daerah meski mereka sadar bahwa mereka adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh negara untuk menjadi pelayan masyarakat, namun berkat kebijakan bureaucratic polity rezim Orba mereka memandang diri tidak sekadar birokrat tetapi juga politisi.

Aspek politik dari birokrasi inilah yang tidak didiskusikan dengan matang ketika reformasi dimulai. Seakan-akan persoalan bureaucratic polity hanya menyangkut politisasi birokrasi, sehingga yang harus dilakukan hanya kebijakan depolitisasi birokrasi dengan menarik Golkar dari birokrasi. Padahal praktek bureaucratic polity rezim Orba menyangkut tidak hanya politisasi birokrasi tetapi juga birokratisasi politik. Karena itu, untuk menjadikan mesin birokrasi dan mesin politik itu kembali bereksistensi seturut hakekatnya masing-masing, maka tidak cukup dengan kebijakan sekadar menarik politik dari tubuh birokrasi, melainkan kita harus memisahkan keduanya. Itu berarti, kita tidak hanya melakukan depolitisasi birokrasi melainkan juga debirokratisasi politik, yakni mencabut aspek kewibawaan birokrasi dari mesin politik sehingga mesin politik dalam proses merekrut pemimpin daerah betul-betul menggambarkan demokrasi kedaulatan rakyat. Tanpa debirokratisasi politik, maka pilkada adalah ritus politik baru atas nama demokrasi untuk meresmikan pejabat birokrasi menjadi pejabat politik gubernur, bupati dan walikota.

Pada titik ini patut kita catat atas terpilihnya Frans Lebu Raya menjadi Gubernur NTT periode 2008-2012, bahwa pilkada propinsi sebagai ritus pengresmian birokrat menjadi pejabat politik berakhir. Terpilihnya seorang rakyat, Frans Lebu Raya, adalah simbol kebangkitan demokrasi kedaulatan rakyat di NTT. Dialah rakyat pertama dalam sejarah politik Propinsi NTT yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk menjadi pejabat politik gubernur. Saya mengutip apa yang penulis pernah diskusikan tiga tahun lalu mengenai tema yang sama melalui media Pos Kupang (18 Oktober 2005) di bawah judul "Birokrasi dan politik: Birokrasi menghambat politik" Bagian pertama dari dua tulisan): "Patut dicatat ialah PDI Perjuangan sebagai partai politik pertama yang melakukan politik partai. PDI Perjuangan mengangkat kader partainya, Frans Lebu Raya, menjadi Wakil Gubernur NTT. PDI Perjuangan dalam hal ini, mampu membongkar kultur politik yang birokratis di NTT, yang selama ini hanya beranggapan bahwa untuk menjadi gubernur atau wakil gubernur hanyalah kader-kader pejabat karier dari birokrasi." *

Dosen Unwira, sekarang kandidat Doktor Teori
Politik pada Universitas Muenchen-Jerman

No comments: